Kepergian Al-Haddad dan Arah Baru Politik Libya
Kematian Kepala Staf Umum Libya, Jenderal Mohammed Ali Ahmed al-Haddad, dalam kecelakaan pesawat di Turki pada Desember 2025 menjadi duka nasional sekaligus momen krusial bagi masa depan politik dan keamanan Libya. Sosok yang dikenal relatif moderat ini meninggalkan jejak penting dalam upaya menyatukan institusi militer negara yang terbelah sejak perang saudara.
Al-Haddad selama ini menjabat sebagai Kepala Staf Umum di bawah Pemerintah Persatuan Nasional atau GNU yang berbasis di Tripoli. Dalam posisi tersebut, ia bukan hanya menjadi aktor militer, tetapi juga figur politik yang memainkan peran penyeimbang di tengah persaingan tajam antara Libya Barat dan Libya Timur.
Kepergiannya langsung memicu spekulasi mengenai siapa yang akan menggantikan posisinya. Secara prosedural, tugas Kepala Staf Umum untuk sementara diambil alih oleh deputinya, sembari menunggu keputusan resmi dari otoritas politik dan militer di Tripoli. Penunjukan pengganti tetap diperkirakan akan melalui proses yang sensitif dan penuh pertimbangan politik.
Namun yang membuat wafatnya al-Haddad begitu berdampak adalah perannya dalam Komite Militer Gabungan 5 + 5. Forum ini mempertemukan lima perwakilan militer dari kubu Tripoli dan lima perwakilan dari kubu timur yang dipimpin Khalifa Haftar, sebuah mekanisme langka di tengah konflik panjang Libya.
Sejak dibentuk pasca-gencatan senjata 2020, Komite 5 + 5 menjadi satu-satunya forum efektif yang mampu menjaga stabilitas relatif di garis depan konflik. Al-Haddad dikenal sebagai figur yang konsisten mendorong dialog dalam forum ini, bahkan ketika tensi politik meningkat di tingkat pemerintahan.
Dalam berbagai pertemuan 5 + 5, al-Haddad menekankan pentingnya profesionalisme militer dan pemisahan tentara dari kepentingan politik sempit. Sikap ini membuatnya mendapat kepercayaan tidak hanya dari kubu Tripoli, tetapi juga dari sebagian perwira di pihak timur.
Hubungannya dengan Khalifa Haftar mencerminkan kompleksitas konflik Libya. Meski keduanya pernah berada di pihak yang saling berperang, al-Haddad mampu membangun hubungan kerja yang pragmatis, terutama dalam isu gencatan senjata dan penarikan tentara bayaran asing.
Belasungkawa terbuka yang disampaikan Haftar atas wafatnya al-Haddad menjadi sinyal penting. Pernyataan itu dibaca banyak pengamat sebagai pengakuan terhadap peran al-Haddad sebagai mitra dialog, bukan sekadar lawan militer.
Kini, Komite 5 + 5 menghadapi ujian serius. Tanpa sosok al-Haddad yang selama ini menjadi penyangga komunikasi, keberlanjutan dialog sangat bergantung pada siapa yang akan ditunjuk sebagai pengganti dan sejauh mana ia melanjutkan pendekatan moderat pendahulunya.
Jika pengganti al-Haddad berasal dari kalangan perwira yang sejalan dengan semangat rekonsiliasi, maka forum 5 + 5 berpotensi tetap hidup dan bahkan diperkuat. Sebaliknya, jika jabatan ini diisi figur yang lebih keras, risiko stagnasi atau bahkan keruntuhan dialog tidak bisa diabaikan.
Rekonsiliasi dua pemerintahan di Libya, antara GNU di Tripoli dan otoritas de facto di timur, juga sangat terkait dengan dinamika ini. Selama ini, kemajuan politik kerap dimulai dari stabilitas militer yang dijaga melalui 5 + 5.
Al-Haddad dipandang sebagai jembatan antara proses militer dan politik. Dengan memastikan senjata relatif diam, ia memberi ruang bagi negosiasi politik, meski hasilnya masih jauh dari penyatuan pemerintahan secara penuh.
Kepergiannya membuka pertanyaan besar mengenai arah masa depan Libya. Apakah figur penggantinya mampu mempertahankan netralitas relatif dan kepercayaan lintas kubu, atau justru terseret kembali ke logika konflik lama.
Pemerintah di Tripoli kini berada di bawah sorotan, karena keputusan mereka akan menentukan sinyal politik ke kubu timur. Penunjukan yang inklusif dapat dibaca sebagai komitmen terhadap persatuan, sementara pilihan sepihak berpotensi memperlebar jurang.
Di sisi lain, kubu timur juga menunggu dengan penuh perhitungan. Reaksi mereka terhadap pengganti al-Haddad akan menjadi indikator apakah jalur rekonsiliasi masih dianggap relevan atau mulai ditinggalkan.
Bagi masyarakat Libya, stabilitas yang rapuh ini sangat menentukan kehidupan sehari-hari. Setiap kemunduran di tingkat elite militer dan politik hampir selalu berujung pada krisis keamanan dan ekonomi di akar rumput.
Komite 5 + 5, meski sering luput dari perhatian publik, telah menjadi simbol harapan bagi Libya pascaperang. Peran al-Haddad di dalamnya menunjukkan bahwa dialog tetap mungkin, bahkan setelah tahun-tahun konflik berdarah.
Kini tongkat estafet berada di tangan generasi perwira berikutnya. Warisan al-Haddad bukan hanya jabatan, tetapi pendekatan yang mengutamakan komunikasi dibanding konfrontasi.
Apabila pendekatan ini diteruskan, rekonsiliasi dua pemerintahan di Libya masih memiliki peluang. Namun jika tidak, wafatnya al-Haddad bisa menjadi titik balik yang membawa negara itu kembali ke pusaran konflik.
Di tengah ketidakpastian tersebut, satu hal jelas: nama Mohammed Ali Ahmed al-Haddad akan terus dikenang sebagai figur militer yang, di saat genting, memilih jalan dialog demi masa depan Libya yang bersatu.
Fenomena Pemerintahan Paralel Libya
Libya memiliki keunikan politik yang jarang ditemui di negara lain, yakni keberadaan pemerintahan paralel yang saling bersaing namun tetap berbagi sumber daya manusia yang sama. Situasi ini membuat batas antara “kubu lawan” menjadi kabur, terutama dalam hal figur elite politik yang berpindah peran antar pemerintahan.
Salah satu contoh paling menonjol adalah Fathi Bashagha. Ia pernah menjadi Menteri Dalam Negeri di pemerintahan Tripoli yang diakui PBB, namun kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh parlemen berbasis Tobruk, yang berseberangan secara politik dan militer dengan Tripoli. Pergeseran ini menunjukkan bahwa loyalitas elite Libya sering kali bersifat pragmatis, bukan ideologis.
Fenomena tersebut mencerminkan struktur kekuasaan Libya yang tidak sepenuhnya terbelah secara mutlak. Meskipun ada dua pusat pemerintahan, jaringan elite politik, militer, dan bisnis saling tumpang tindih. Seorang pejabat tidak selalu “dibakar” reputasinya ketika berpindah kubu, justru sering dianggap aset berharga.
Banyak pengamat menggambarkan situasi ini seperti dunia korporasi. Seorang CEO yang sukses di satu perusahaan bisa saja “dibajak” oleh perusahaan pesaing karena dianggap memiliki pengalaman, jaringan, dan legitimasi. Dalam konteks Libya, pengalaman mengelola negara dan akses ke aktor internasional menjadi modal utama yang diperebutkan.
Dalam sistem ini, pemerintahan paralel berfungsi layaknya perusahaan yang bersaing memperebutkan talenta terbaik. Figur seperti Bashagha tidak dilihat sebagai pengkhianat, melainkan profesional politik yang bisa memperkuat posisi tawar satu kubu terhadap kubu lain, baik di dalam negeri maupun di mata aktor asing.
Keunikan ini juga dipengaruhi oleh absennya negara yang benar-benar terinstitusionalisasi. Karena lembaga negara lemah, yang bertahan adalah individu dan jaringan. Selama seseorang memiliki pengaruh, ia tetap relevan di mana pun ia berada, bahkan di pemerintahan yang sebelumnya ia lawan.
Pola serupa tidak hanya terjadi di Libya, tetapi juga di Yaman. Dalam konflik Yaman, beberapa figur yang pernah menjabat di pemerintahan resmi atau wilayah selatan, termasuk mantan Gubernur Aden, kemudian muncul dalam struktur pemerintahan lain yang berseberangan secara politik.
Perpindahan peran di Yaman memperlihatkan logika yang sama: kemampuan personal dan jaringan lebih penting daripada garis loyalitas formal. Dalam konteks ini, pemerintahan yang saling bermusuhan tetap bersaing merekrut figur yang dinilai mampu mengelola krisis dan memberi legitimasi.
Baik di Libya maupun Yaman, fenomena ini menegaskan bahwa konflik tidak selalu hitam-putih. Di balik narasi perang dan rivalitas, terdapat pasar elite politik yang dinamis, tempat individu dapat berpindah “perusahaan” tanpa harus kehilangan posisi tawarnya.
Akhirnya, pemerintahan paralel dengan elite yang cair ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang rekonsiliasi karena aktor-aktornya saling mengenal. Di sisi lain, ia juga memperpanjang konflik, karena perebutan figur kunci berubah menjadi kompetisi seperti dunia korporasi, bukan penyelesaian institusional yang tuntas.


Tidak ada komentar
Posting Komentar