Yaman, STC, dan Ancaman Fragmentasi Wilayah
Wakil Menteri Luar Negeri Yaman kembali memberikan peringatan serius mengenai situasi selatan Yaman, yang saat ini berada di bawah kendali Dewan Transisi Selatan (STC). Dalam beberapa pernyataannya, ia menyebut kondisi Yaman mirip dengan Sudan dan Somaliland, menyiratkan risiko fragmentasi internal dan terbentuknya entitas de facto di selatan.
Menurutnya, situasi di selatan Yaman saat ini menunjukkan tanda-tanda negara tidak bersatu, di mana STC menguasai wilayah strategis seperti Hadramaut dan Mahra, sementara PLC beroperasi dari Riyadh. Hal ini mencerminkan fragmentasi politik dan militer yang membahayakan stabilitas nasional.
Wakil Menlu menekankan bahwa Saudi tetap menjadi pihak yang paling memengaruhi dan dipengaruhi oleh situasi Yaman, sementara STC telah memperkuat kontrolnya melalui milisi lokal dan administrasi otonom. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa selatan Yaman dapat menjadi entitas semi-independen, mirip kondisi Somaliland di Somalia.
Hadramaut dan Mahra menjadi target utama penguasaan STC tidak hanya karena kekayaan sumber daya, tetapi juga karena posisi strategis terhadap Saudi dan Oman. Wilayah ini memungkinkan STC mengendalikan jalur logistik, perdagangan, dan memperkuat posisi tawar mereka terhadap pemerintah pusat.
Wakil Menlu menekankan bahwa Yaman yang terpecah akan menjadi pusat ketidakstabilan regional, sama seperti Sudan sebelum pemisahan Selatan menjadi negara sendiri dan belakangan berdirinya pemerintahan paralel di Nyala oleh RSF. Fragmentasi ini dapat memicu konflik berkepanjangan dan mempersulit upaya rekonsiliasi nasional.
Pernyataan tersebut sengaja membandingkan Yaman dengan Sudan dan Somaliland karena kondisi kedua wilayah tersebut mirip secara internal dan Arab/regionally relatable. Sudan pernah mengalami konflik multi-aktor dengan milisi lokal yang menguasai wilayah tertentu, sementara Somaliland terbentuk sebagai entitas de facto tanpa pengakuan internasional.
Dalam konteks ini, analogi dengan Tiongkok-Taiwan tidak relevan. Taiwan adalah negara stabil dengan pemerintahan mapan dan dukungan internasional tertentu meski selalu diancam akan disatukan paksa jika memerdekaan diri, berbeda dengan Yaman yang masih berada dalam konflik internal dan fragmentasi bersenjata.
Begitu pula, perbandingan dengan Suriah-SDF atau Irak-Kurdistan dianggap kurang tepat karena entitas otonom tersebut memiliki dukungan militer dan diplomatik yang jelas dari aktor global, sementara STC mengandalkan basis lokal dan dukungan regional terbatas.
Kasus Libya (Tripoli-Benghazi) atau Serbia-Kosovo juga berbeda karena melibatkan klaim kedaulatan yang diakui internasional atau konflik antar-negara, bukan fragmentasi internal negara tunggal yang sedang berperang seperti Yaman.
Sementara itu, Bosnia dan Republika Srpska merupakan kasus negara multietnis yang dipisahkan berdasarkan kesepakatan internasional, sehingga tidak sebanding dengan situasi selatan Yaman yang berbasis kontrol milisi lokal dan otonomi de facto.
STC memperkuat posisinya di selatan dengan membangun milisi, administrasi lokal, dan jaringan logistik sendiri. Transformasi ini mirip dengan metamorfosa Dewan Militer Druze menjadi Garda Nasional di Suriah, namun dengan konteks Arab dan internal Yaman.
Penguasaan Hadramaut memberi STC kendali atas sumber daya minyak dan gas, pelabuhan strategis, dan jalur perdagangan, sementara Mahra menjadi penghalang terhadap pengaruh Oman. Strategi ini memastikan STC tidak sepenuhnya tergantung pada Riyadh atau pemerintah pusat.
PLC memiliki opsi balasan selain perang, salah satunya adalah mengurangi atau menghentikan anggaran ke wilayah yang dikuasai STC. Namun, strategi ini harus berhati-hati karena dapat memperkuat dukungan lokal terhadap STC dan memperdalam fragmentasi.
Situasi ini menunjukkan bahwa Yaman saat ini berada dalam posisi mirip Mahmoud Abbas, yang mengelola Tepi Barat sambil menghadapi Hamas di Gaza. PLC harus menegakkan legitimasi sambil menegosiasikan hubungan dengan entitas otonom bersenjata.
Wakil Menlu juga mengingatkan bahwa jika fragmentasi selatan terus berlangsung, wilayah ini bisa menjadi negara kecil seperti Somaliland, yang memiliki pemerintahan sendiri namun tidak diakui internasional.
Perbandingan dengan Sudan menekankan konsekuensi fragmentasi dan konflik berkepanjangan, di mana pemerintah pusat lemah dan milisi lokal menguasai wilayah luas. Hal ini menjadi peringatan bagi warga Yaman dan komunitas internasional.
Saudi tetap memainkan peran strategis sebagai penyeimbang kekuatan. Mereka memengaruhi STC melalui dukungan politik, ekonomi, dan diplomatik, namun tetap berhati-hati agar tidak memicu konfrontasi langsung.
Pernyataan Wakil Menlu juga menekankan pentingnya kesatuan nasional. Yaman yang terpecah tidak hanya membahayakan keamanan selatan, tetapi juga stabilitas regional secara keseluruhan, mengingat posisi strategis Yaman di Teluk Aden dan jalur laut internasional.
STC menggunakan strategi kombinasi politik, ekonomi, dan militer lokal untuk mengamankan wilayah yang dikuasai. Hal ini mirip pola otonomi Druze di Suriah, tetapi berbeda karena konteks Arab dan konflik internal Yaman lebih kompleks.
Metamorfosa wilayah selatan Yaman menjadi entitas de facto menunjukkan bahwa kontrol milisi lokal, sumber daya, dan jalur strategis sangat penting dalam konflik modern. PLC harus berhati-hati dalam merespons agar tidak memperkuat posisi STC.
Akhirnya, pemilihan analogi Sudan dan Somaliland oleh Wakil Menlu bukan kebetulan. Kedua contoh ini mudah dipahami secara regional, aman diplomatis, dan menekankan risiko fragmentasi internal, berbeda dengan analogi Tiongkok-Taiwan, Suriah-SDF, Irak-Kurdistan, Libya, Serbia-Kosovo, atau Bosnia.


Tidak ada komentar
Posting Komentar