Breaking News

Kemiripan Taiz di Yaman dengan Berlin Pasca PD II



Provinsi Taiz di barat daya Yaman kembali menjadi pusat sorotan di tengah konflik yang belum mereda. Kota ini bukan sekadar lokasi strategis karena menghadap Bab al-Mandab, selat vital yang menghubungkan Laut Merah dan Samudera Hindia, tetapi juga memiliki sejarah panjang sebagai salah satu ibu kota penting dalam sejarah politik Yaman. Pada masa Dinasti Rasuliyah abad ke-13 hingga ke-15, Taiz pernah ditetapkan sebagai ibu kota kerajaan yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman saat itu.

Sebagai ibu kota Rasuliyah, Taiz dikenal sebagai kota pelajar, pusat perdagangan, dan benteng pertahanan penting. Kota ini berkembang pesat di bidang seni, arsitektur Islam, serta ilmu agama. Banyak peninggalan sejarah yang masih bertahan hingga kini, meski sebagian rusak akibat konflik bersenjata selama satu dekade terakhir. Istana, benteng, dan masjid-masjid tua menjadi saksi kejayaan Taiz di masa lalu.

Secara demografi, Taiz didominasi oleh suku Qudha'ah dan Makhlaaf, dua klan Arab Selatan yang sudah mendiami wilayah ini sejak pra-Islam. Selain itu, ada pula komunitas sub-suku Banu As'ad, Al-Akhdam, dan Banu Zaid yang tersebar di pinggiran kota. Identitas lokal masyarakat Taiz dikenal terbuka, moderat, dan secara budaya lebih dekat ke kawasan pesisir Yaman daripada pegunungan utara seperti di Sana’a.

Saat ini, kota Taiz benar-benar terbelah akibat konflik bersenjata antara kelompok Houthi dan pemerintah Aden. Wilayah utara kota dan sebagian wilayah barat masih dikuasai Houthi, sedangkan pusat kota dan area selatan dipegang oleh pasukan pemerintah. Kondisi ini membuat Taiz mirip situasi Berlin pasca Perang Dunia II, yang dulu terbagi menjadi Berlin Timur dan Berlin Barat, masing-masing di bawah kendali kekuatan politik berbeda.

Perbatasan kendali di dalam kota Taiz bahkan ditandai oleh pos-pos pemeriksaan bersenjata dan pagar penghalang. Warga sipil yang ingin berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain harus melewati pemeriksaan ketat, sering kali disertai intimidasi. Beberapa jalan utama antar-kawasan diputus total, menyebabkan transportasi dan arus logistik lumpuh.

Tak hanya Taiz, beberapa provinsi lain di Yaman juga mengalami pembelahan wilayah serupa. Provinsi Marib misalnya, terbagi antara kawasan kota yang dikuasai pemerintah dan pedalaman utara yang masih di bawah kontrol Houthi. Marib memiliki arti strategis karena merupakan sumber minyak dan gas utama Yaman serta lokasi PLTA terbesar di negara itu.

Provinsi Al-Dhalea di selatan pun terbelah antara kekuasaan milisi separatis Dewan Transisi Selatan (STC) yang didukung Uni Emirat Arab dan pemerintah Yaman. Kawasan ini menjadi titik benturan antara nasionalis Yaman utara dan kelompok-kelompok pro-pemisahan yang ingin memisahkan Yaman Selatan seperti sebelum penyatuan 1990.

Sementara itu, provinsi Al-Hudaydah di pesisir Laut Merah juga terbagi dua. Pelabuhan utama Hudaydah dikuasai Houthi, sementara kawasan pedesaan dan selatan kota dikuasai pasukan pemerintah dan koalisi Saudi-Emirat. Perjanjian Stockholm 2018 yang sempat disepakati untuk meredakan konflik di Hudaydah, hingga kini berjalan setengah hati.

Taiz menjadi kasus khusus karena selain strategis, kota ini juga simbol gerakan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter di Yaman. Saat revolusi 2011, Taiz menjadi episentrum demonstrasi besar yang akhirnya menggulingkan Presiden Ali Abdullah Saleh. Warga Taiz dikenal sebagai pelopor perlawanan sipil dan gerakan demokrasi di negara itu.

Namun saat ini, kota itu justru menjadi ajang perebutan kekuasaan antara berbagai faksi. Houthi tetap mempertahankan kontrol di utara kota, sementara pasukan pemerintah Aden, Dewan Kepresidenan Yaman, serta kelompok politik lain seperti milisi Tarik Saleh dan pejuang independen menguasai area selatan dan pusat kota.

Situasi Taiz memperlihatkan betapa kota itu menjadi Berlin-nya Yaman. Dua pemerintahan berjalan paralel di dalam satu kota, masing-masing menerapkan hukum, peraturan, dan sistem administratif berbeda. Warga sipil menjadi korban terbesar akibat terhambatnya layanan kesehatan, pendidikan, dan logistik pangan.

Kota Taiz juga menghadapi risiko meningkatnya gerakan separatisme. Sejak 2015, beberapa elite lokal dan aktivis telah menyuarakan keinginan untuk mendirikan Republik Taiz yang terpisah dari Yaman. Mereka beralasan bahwa selama ini Taiz hanya menjadi korban konflik elite politik utara dan intervensi kekuatan luar.

Wacana ini semakin ramai ketika beberapa tokoh lokal dan diaspora Taiz di luar negeri membentuk Komite Independen Taiz yang mendorong referendum kemerdekaan. Meski belum bersifat resmi, gerakan ini terus memperluas jejaringnya di dalam dan luar negeri. Pemerintah Aden menanggapi ancaman ini dengan keras dan menyatakan akan mengambil langkah hukum terhadap siapa pun yang mendorong pemisahan.

Di tengah konflik yang tak kunjung usai, warga Taiz hidup dalam penderitaan panjang. Kekurangan air bersih, listrik, dan kebutuhan pokok menjadi bagian dari keseharian. Anak-anak terpaksa putus sekolah dan banyak fasilitas kesehatan berhenti beroperasi karena blokade yang diberlakukan di perbatasan kota.

Kondisi keamanan pun tidak stabil. Perang jalanan, serangan sniper, dan ledakan ranjau darat masih sering terjadi di beberapa zona perbatasan dalam kota. Hingga kini, lebih dari 15 ribu warga sipil Taiz tewas akibat konflik ini dan puluhan ribu lainnya mengalami cacat permanen.

Taiz adalah salah satu contoh nyata betapa perang saudara berkepanjangan menghancurkan identitas kota yang dulu menjadi simbol budaya, perdagangan, dan perlawanan. Masyarakat internasional, meski sering menyerukan perdamaian, belum mampu mendorong solusi konkret bagi kota yang kini terbagi itu.

Masa depan Taiz masih gelap. Apakah akan tetap menjadi bagian utuh dari Yaman, memperoleh otonomi khusus, atau benar-benar melepaskan diri, semuanya bergantung pada dinamika konflik nasional dan kekuatan politik yang terus bersaing di wilayah ini. Namun satu hal pasti, rakyat Taiz masih menanti hari di mana kota mereka kembali utuh dan damai seperti dulu.

Tidak ada komentar