Breaking News

Melihat Peta Demografi Palestina yang Kini Jadi Target Genosida Israel


Gaza, wilayah kecil yang terletak di pesisir timur Laut Tengah, menjadi saksi bisu dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak 1948, wilayah ini telah menjadi rumah bagi ratusan ribu pengungsi Palestina yang kehilangan tanah air mereka setelah Nakba, peristiwa yang memaksa ratusan ribu orang meninggalkan rumah mereka. Sebagian besar dari mereka kini tinggal di kamp-kamp pengungsi yang tersebar di seluruh Gaza. Kamp-kamp seperti Jabalia, Khan Younis, dan Rafah menjadi tempat berlindung bagi generasi ketiga dan keempat dari keluarga pengungsi yang terpaksa meninggalkan kota-kota seperti Ashkelon, Jaffa, dan Beersheba.

Namun, meskipun Gaza dikenal sebagai tempat berlindung bagi pengungsi, wilayah ini juga dihuni oleh banyak keluarga asli Gaza yang telah tinggal di kawasan ini sejak lama. Kota Gaza, Deir al-Balah, Khan Younis, dan Rafah adalah beberapa daerah di mana keluarga-keluarga Palestina asli Gaza tinggal. Mereka bukan bagian dari pengungsi, tetapi juga merasakan dampak dari konflik yang terus berlangsung. Ketika serangan militer Israel menghantam Gaza, baik pengungsi maupun warga lokal Gaza asli sama-sama merasakan dampak yang sangat besar. Tidak ada zona aman di wilayah yang padat penduduk ini.

Sejak 2008, ketika Israel melancarkan serangan militer besar-besaran yang dikenal dengan nama "Cast Lead," hingga serangan terbaru pada 2023-2024, Gaza telah berulang kali menjadi sasaran serangan udara, artileri, dan invasi darat. Serangan ini menghancurkan rumah-rumah, infrastruktur, dan kamp-kamp pengungsi, memaksa ribuan warga Palestina, baik yang berasal dari keluarga pengungsi maupun warga asli Gaza, untuk kehilangan tempat tinggal mereka. Kamp-kamp pengungsi seperti Jabalia dan Shati, yang sudah sangat padat, lebih sulit untuk dievakuasi, membuat mereka menjadi sasaran empuk serangan militer.

Sebagian besar warga Gaza asli tinggal di daerah-daerah seperti Rimal, Tel al-Hawa, dan daerah pedesaan yang lebih dekat dengan kota Gaza. Meskipun mereka berasal dari keluarga yang telah lama menetap di Gaza, mereka tetap tidak luput dari serangan. Rimal, yang dikenal sebagai kawasan elite Gaza, dan Tel al-Hawa, yang menjadi rumah bagi banyak keluarga kelas menengah, juga mengalami kehancuran besar-besaran dalam serangan-serangan ini. Tidak ada perbedaan signifikan antara dampak yang dirasakan oleh warga asli Gaza dan pengungsi, karena keduanya sama-sama terperangkap dalam lingkaran kekerasan yang tak berujung.

Sementara itu, warga yang tinggal di kamp-kamp pengungsi seringkali lebih rentan terhadap serangan karena kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan kurangnya infrastruktur yang memadai. Di kamp Jabalia, yang merupakan kamp pengungsi terbesar di Gaza, lebih dari 100.000 orang tinggal dalam kondisi yang sangat terbatas. Ketika serangan militer Israel menghantam kawasan ini, banyak keluarga kehilangan tempat tinggal dan barang-barang mereka. Begitu juga di kamp-kamp lainnya seperti Khan Younis dan Rafah, yang terletak di bagian selatan Gaza.

Serangan-serangan ini tidak hanya menghancurkan rumah, tetapi juga merusak rumah sakit, sekolah, dan fasilitas kemanusiaan lainnya. Gaza, yang sudah menghadapi krisis kemanusiaan akibat blokade Israel dan Mesir, kini semakin terpuruk. Ribuan warga yang terluka tidak memiliki akses yang memadai ke perawatan medis, sementara rumah sakit yang ada juga menjadi sasaran serangan. Dengan semakin terbatasnya akses ke makanan, air, dan obat-obatan, kondisi hidup di Gaza semakin memburuk.

Konflik ini telah menyebabkan penghancuran yang luas, dan meskipun sebagian besar serangan ini terjadi di kamp-kamp pengungsi, tidak ada satu pun wilayah Gaza yang terbebas dari dampak pertempuran. Warga yang tinggal di wilayah utara Gaza, yang sebagian besar merupakan keturunan pengungsi dari kota-kota seperti Ashkelon dan Beersheba, harus menghadapi serangan yang sama beratnya dengan warga asli Gaza. Ketika serangan Israel menyasar rumah-rumah mereka, mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga identitas dan warisan mereka sebagai orang Palestina.

Dampak dari serangan-serangan ini juga mengubah struktur sosial Gaza. Banyak keluarga yang kehilangan sumber pendapatan utama mereka akibat kehancuran ekonomi, sementara anak-anak Palestina di Gaza terpaksa tumbuh dalam kondisi yang penuh dengan kekerasan dan ketidakpastian. Seiring berjalannya waktu, harapan untuk perdamaian semakin menipis, dan Gaza terus menjadi simbol penderitaan dan ketidakadilan bagi bangsa Palestina.

Perbedaan antara pengungsi dan warga asli Gaza kini semakin kabur. Dalam konflik ini, tidak ada yang benar-benar aman. Setiap serangan militer Israel menghancurkan kehidupan semua orang, tanpa memandang status mereka sebagai pengungsi atau warga lokal. Namun, meskipun begitu, semangat perjuangan untuk kebebasan dan kemerdekaan tetap menyala di hati warga Gaza, yang terus berjuang meskipun dalam keadaan yang sangat sulit.

Dengan adanya genosida yang tak kunjung usai, masa depan Gaza tampaknya semakin suram. Warga Gaza, baik yang berasal dari keluarga pengungsi maupun yang asli, terus berusaha bertahan hidup di tengah serangan yang terus menerus. Namun, harapan untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di wilayah ini semakin sulit terwujud, karena tindakan-tindakan kekerasan dari kedua belah pihak hanya memperburuk keadaan. Gaza, yang dulu menjadi rumah bagi ribuan keluarga, kini menjadi tempat yang penuh dengan puing-puing kehancuran dan air mata.

Ketika pertempuran terus berlangsung, dunia internasional semakin kehilangan kesabaran terhadap konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade ini. Setiap kali serangan terjadi, banyak negara mengecam tindakan Israel, namun tidak ada solusi konkret yang ditawarkan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina. Gaza tetap berada dalam cengkeraman kekerasan, dengan warga yang tak kunjung mendapatkan kedamaian yang mereka dambakan sejak lama.

Pada akhirnya, yang terlihat jelas adalah bahwa Gaza bukan hanya rumah bagi pengungsi dari 1948, tetapi juga rumah bagi keluarga-keluarga yang telah ada di sana sejak sebelum perang. Kedua kelompok ini—pengungsi dan warga asli Gaza—mereka semua memiliki nasib yang sama: terjebak dalam konflik yang tak kunjung selesai, kehilangan tempat tinggal dan kehidupan yang aman. Gaza adalah simbol dari sebuah perjuangan panjang untuk hak hidup dan hak atas tanah air yang belum terwujud.

Di tengah kekacauan panjang yang melanda Gaza, sebenarnya ada cara untuk membedakan antara pengungsi Palestina keturunan korban Nakba 1948 dan warga asli Gaza yang sudah tinggal di wilayah itu sejak berabad-abad sebelum konflik modern meletus. Perbedaan itu tidak selalu mudah dilihat secara kasat mata saat ini karena semua sudah bercampur dalam penderitaan yang sama. Tapi dalam tradisi sosial Gaza, jejak asal-usul seseorang masih bisa dikenali melalui nama keluarga, asal kampung lama, dan kabilah atau marga asal yang diwariskan secara turun-temurun.

Warga Gaza asli umumnya berasal dari sejumlah kabilah Arab tua yang menetap di Gaza sejak masa Ottoman atau bahkan era Mamluk sebelumnya. Keluarga-keluarga ini dikenal sebagai keluarga kota atau Ahl Ghazzah, yang nama-nama mereka masih dapat ditemui di kawasan lama Gaza, Khan Younis, dan Deir al-Balah. Beberapa di antara kabilah tua itu antara lain Al-Shawa, Al-Rayyes, Al-Bitar, Al-Tel, Al-Agha, Al-Muqayad, dan Al-Bashiti. Keluarga ini biasanya memiliki hubungan lama dengan perdagangan, pertanian, atau posisi ulama dan hakim pada masa Ottoman.

Di sisi lain, para pengungsi Palestina yang datang ke Gaza pada 1948 berasal dari kota-kota dan desa-desa yang kini masuk wilayah Israel. Mereka membawa identitas baru sebagai pengungsi UNRWA, yang tercatat secara administratif di badan PBB khusus pengungsi Palestina itu. Nama-nama keluarga mereka berasal dari asal kampung yang dulu mereka tempati. Misalnya, keluarga yang berasal dari Ashkelon biasanya menyebut asal-usulnya dengan nama desa atau kota itu, seperti Al-Ashqilani, atau Al-Beershawi bagi yang asal Beersheba.

Selain lewat nama keluarga, perbedaan juga terlihat dari lokasi tempat tinggal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, warga Gaza asli menetap di pusat kota Gaza, kawasan Rimal, Tal al-Hawa, serta desa-desa tua seperti Khan Younis dan Rafah sejak jauh sebelum 1948. Sedangkan para pengungsi ditempatkan di kamp-kamp pengungsi resmi yang padat seperti Jabalia, Shati, Khan Younis Camp, Nuseirat, dan Rafah Camp. Secara sosial, dulu terdapat perbedaan kelas antara warga asli yang umumnya lebih mapan dan pengungsi yang hidup dalam kondisi kemiskinan, meskipun kini batas itu semakin kabur akibat perang dan blokade.

Warga Gaza asli juga mempertahankan sejumlah adat kabilah yang diwariskan dari nenek moyang mereka, termasuk sistem penyelesaian sengketa lewat majelis kabilah dan lembaga adat yang disebut ‘Atwa’ atau pembayaran damai antar keluarga dalam kasus pembunuhan atau perselisihan berat. Tradisi ini lebih kuat bertahan di keluarga-keluarga tua Gaza seperti Al-Agha di Khan Younis dan Al-Shawa di kota Gaza. Sementara di kalangan pengungsi, tradisi ini lambat laun bercampur dengan kebiasaan urban kamp-kamp pengungsi yang lebih homogen karena semua berasal dari berbagai desa yang berbeda-beda.

Secara genealogi, beberapa kabilah tua Gaza mengaku keturunan bangsa Arab dari Yaman, Hijaz, atau wilayah Syam kuno yang bermigrasi ke Gaza sejak era awal Islam atau periode Mamluk. Di antaranya Al-Muqayad, Al-Bitar, dan Al-Bashiti. Keluarga-keluarga ini dulunya memiliki peran penting di Masjid Agung Gaza, pasar-pasar tua, dan pelabuhan. Hal ini berbeda dengan para pengungsi yang baru masuk Gaza pasca-1948, dengan sejarah desa dan tradisi yang mereka bawa dari Palestina tengah dan selatan seperti Beersheba, Asdod, Ashkelon, dan Jaffa.

Wilayah yang tidak disebut sebagai daerah asal pengungsi biasanya adalah desa-desa tua di Gaza Tengah seperti Deir al-Balah, yang memang dihuni oleh penduduk lokal sejak sebelum 1948, dan tidak terkena eksodus massal. Di sana, keturunan keluarga asli Gaza masih banyak ditemukan, termasuk keluarga Al-Najjar, Al-Kahlout, dan Al-Barsh. Begitu pula di Khan Younis, sebelum kedatangan pengungsi, desa ini merupakan wilayah pusat pertanian kurma dan semangka terbesar di Gaza.

Selain itu, perbedaan juga dapat terlihat dalam catatan kependudukan administratif masa Ottoman dan Mandat Inggris. Pada masa itu, sensus penduduk Gaza mencatat keluarga-keluarga lokal di daftar tersendiri, sementara desa-desa luar Gaza seperti Ashkelon, Beersheba, dan Yaffa dicatat terpisah. Selepas 1948, pengungsi didata khusus oleh UNRWA dan pemerintah Mesir yang kala itu mengelola Gaza. Catatan lama ini masih dipegang oleh sebagian keluarga Gaza asli untuk menegaskan asal-usul mereka, meski dalam konflik modern hal itu sudah tidak lagi menjadi prioritas di tengah ancaman perang yang terus berlangsung.

Walaupun perbedaan status itu pernah memicu ketegangan sosial di Gaza pada dekade 1950-an hingga 1970-an, di mana warga lokal dan pengungsi kerap bersaing soal lahan, pekerjaan, dan jabatan, situasi itu perlahan mereda ketika gelombang kekerasan Israel terhadap Gaza semakin merata tanpa membedakan status sosial. Kini, baik pengungsi maupun warga asli Gaza sama-sama berada dalam kondisi sulit akibat blokade ekonomi dan ancaman militer yang terus meneror wilayah kecil itu.

Saat ini, generasi muda Gaza mulai kehilangan ketertarikan membedakan antara siapa warga asli dan siapa keturunan pengungsi. Identitas mereka lebih kuat disatukan oleh pengalaman bersama sebagai rakyat Palestina yang hidup di bawah blokade dan serangan berkepanjangan. Meskipun demikian, di sebagian kecil komunitas Gaza, khususnya di keluarga-keluarga tua, kebanggaan terhadap asal-usul tetap dipertahankan dalam tradisi lisan, pertemuan keluarga besar, dan upacara adat tertentu.

Jika perang terus berlangsung dan Gaza terus mengalami kehancuran tanpa jeda, bukan tidak mungkin jejak-jejak identitas asal ini perlahan akan hilang. Di tengah reruntuhan dan penderitaan, yang tersisa hanyalah catatan-catatan sejarah tentang siapa yang dulu menjadi warga asli Gaza dan siapa yang datang sebagai pengungsi, sebelum semuanya akhirnya larut dalam sejarah panjang penderitaan satu bangsa yang terus diperjuangkan hingga hari ini.

Tidak ada komentar